Dalam artikel ini saya akan
menulis tentang Kebudayaan yang ada di Banten, dan salah satu dari begitu
banyaknya Kebudayaan yang ada di Banten, saya akan menulis tentang ”Upacara
Seren Taun” yang diselenggarakan oleh masyarakat Kasepuhan dan masyarakat
Baduy. Kebudayaan ini biasa disebut juga dengan Kebudayaan Tradisi, dimana
pemaknaannya adalah sesuatu yang berkaitan dengan adat kebiasaan turun temurun
dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam masyarakat dan terus bertahan hingga
kini.
Warga Kasepuhan bermukim di
daerah Lebak (Banten Selatan), tepat di sekitar kawasan Gunung Halimun di
wilayah Bogor Selatan dan Sukabumi Selatan, sesuai dengan pengakuan mereka
sebagai warga kesatuan adat Banten Kidul. Warga Kasepuhan menamakan diri
sebagai warga Kasatuan (kesatuan),
yang dalam tata cara kehidupan mereka masih secara ketat menjalankan tatali paranti karuhun. Walaupun dalam
beraktivitas mereka tidak menutup diri dalam pergaulan dengan masyarakat desa
pada umumnya, sikap terbuka ini pula yang membedakan mereka dengan orang Baduy
yang tinggal disekitar kawasan Gunung Kendeng yang terletak tidak jauh dari
Kawasan Kompleks Gunung Halimun.
Warga Kasepuhan memiliki
hubungan yang erat dengan Kerajaan Sunda terakhir di Jawa Barat yang berkedudukan
di Bogor, dan mereka merupakan keturunan langsung dari salah seorang Raja
Kerajaan Sunda yaitu Prabu Siliwangi. Dan agama yang dianut warga Kasepuhan
umumnya beragama Islam, dan tergolong penganut yang taat walaupun mereka tetap
melaksanakan adat istiadat nenek moyang yang merupakan pedoman hidup utama
sebagai keturunan pancer pangawinan, pedoman hidup tersebut berfungsi sebagai
pembimbing warga Kasepuhan dalam mencapai ketentraman hidup sehingga terlepas
dari hukuman nenek moyang karena pelanggaran atas tabu.
Sedangkan mata pencaharian
utama warga Kasepuhan adalah berladang (huma), sehingga kegiatan sosial yang
menjadi tali ikatan bagi mereka dimana pun berada adalah Upacara Seren Taun yaitu sebuah budaya yang
berawal dari masa Megalitik dan terus bertahan sampai sekarang. Dalam arus
adaptasinya, banyak hal yang harus disesuaikan dengan jamannya, mungkin
beberapa mantera dikurangi atau sedikit bagian dari prosesi upacara tidak
dipertontonkan di muka umum bahkan mungkin dihilangkan, dan sedikit bagian lagi
sengaja digelar untuk umum demi kepentingan pariwisata, yang intinya menggelar
acara penghargaan terhadap nikmat yang diberikan Tuhan kepada umatnya.
Upacara Seren Taun mengandung makna serah terima tahun lampau kepada tahun
yang akan datang, dan merupakan wahana syukuran kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
hasil panen yang dilaksanakan pada tahun terdahulu disertai harapan agar tahun
selanjutnya kehidupan pertanian akan lebih baik dari tahun sebelumnya. Tradisi
ini sudah berlangsung sejak masa Kerajaan Sunda.
Upacara Seren Taun diselenggarakan di daerah Baduy dan Kasepuhan pada
prinsipnya tidak berbeda karena diantara mereka masih memiliki latar belakang
historis yang sama yaitu ”Rawayan Pajajaran” (Keturunan Warga Pajajaran). Saat
ini penanggalan Upacara Seren Taun
tidak lagi berpijak pada kalender Pajajaran, melainkan lebih kepada kalender
Islam atau kalender Masehi. Namun demikian roh dan kejiwaan yang terpancar dari
Upacara itu ”Nyunda majajaran”.
Pemilihan Seren Taun dihitung
berdasarkan bintang penuntun pertanian yaitu Bintang Kerti dan Bintang Kidang,
dan ritual dilakukan oleh para sesepuh yang berjumlah 7-9 Orang, dan perhitungan
harinya telah dilakukan jauh sebelumnya, biasanya Upacara ini dilaksanakan 49
hari setelah musim panen dan berlangsung selama 9 hari.
Pada hari pelaksanaan, acara
Balik Taun Rendangan merupakan acara pembuka, Rendangan berarti seluruh
keturunan Kasepuhan Banten Kidul, dan ritual berikutnya adalah Ngareremokeun yaitu memasukkan padi ke
dalam lumbung (leuit) dan Upacara dimulai dengan pembakaran kemenyan yang
dilakukan oleh Dukun Pangampih sebagai Pemimpin Upacara disertai pembacaan
mantra dan do’a agar padi yang disimpan dalam lumbung utama dapat mencukupi
kebutuhan warga dan panen di tahun mendatang melebihi hasil panen tahun ini,
dan iring-iringan di ikuti oleh penghantar pembawa padi utama terdiri dari tiga
orang wanita yang sudah menopause dan
dua orang gadis pemikul rengkong dan beberapa orang pria pembawa padi, pemain
Gondang, dan pemain Toleat.
Dan para sesepuh membawa
Sembilan Bakul Padi yang dibungkus kain putih sebagai simbol dari Sembilan Wali
yang menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa termasuk Banten. Para Sesepuh juga
menyanyikan puji-pujian kepada Dewi Sri sebagai penjaga kesuburan tanah dan
tanaman yang mereka pelihara, diiringi dogdog lojor, Angklung buhun dengan
tembang-tembang sebagai pasokan makanan warga Kasepuhan serta seluruh
masyarakat Kasepuhan Banten Kidul. Prosesi Ngareremokeun
diakhiri dengan memotong kerbau dan kambing di areal terbuka dan sebagai
puncak acara, di gelar kesenian tradisional yang ada di daerah tersebut.
Upacara Seren Taun biasanya dilaksanakan pada Bulan Syawal atau Bulan Silih
Mulud (Tahun Hijriyah) atau sekitar Bulan Juni-Juli dengan rangkaian kegiatan :
- Hari Pertama (malam), dipagelarkan Mantun Nyoreang alam katukang yang intinya adalah membuka riwayat perjalanan kehidupan pada masa Kerajaan Sunda (Padjadjaran) dengan Prabu Siliwangi dan keluarganya.
- Hari Kedua, prosesi Ngareremokeun dan dilanjutkan dengan acara kesenian.
- Hari Ketiga, acara Seremonial bersama Pejabat Pemerintah dari berbagai tingkatan dan dipagelarkan atraksi yang berbau magis.
- Hari Keempat (malam), diisi dengan acara Rasulan dan Ceramah Agama.
Setelah itu acara terakhir
yang hanya berlaku bagi para Rendangan adalah pemberian Tukuh dari Abah sebagai
syarat yang akan ditanam di ladang pada awal musim tanam, Tukuh yang sudah
dido’akan atau di syariatkan oleh Abah itu dipercaya dapat mendatangkan panen
yang berlimpah. Masyarakat Kasepuhan mengenal dua sistem pemerintahan yaitu
sistem nasional dan sistem adat. Sistem Nasional mengacu pada aturan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan Sistem Adat mengacu pada adat istiadat
Kasepuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar