Baduy
Dalam merupakan masyarakat yang masih tetap mempertahankan dengan kuat
nilai-nilai budaya warisan leluhurnya dan tidak terpengaruh oleh kebudayaan
luar. Ini berbeda dengan Baduy Luar yang sudah mulai mengenal kebudayaan luar.
Perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar seperti itu dapat dilihat dari cara
busananya berdasarkan status sosial, tingkat umur maupun fungsinya. Perbedaan
busana hanya didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat
saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Dalam
kehidupan sehari-hari manusia, berpakaian merupakan salah satu alat untuk
melindungi diri dan menunjukkan citra diri terhadap orang lain. Dalam hal
ini masyarakat Baduy yang merupakan suku terasing di Banten sudah memikirkan
dalam hal berpakaian dalam masyarakatnya..Sebelumnya Suku Baduy adalah suku
yang menetap di ujung Pulau Jawa sebelah barat Suku Baduy terdiri dari dua
kelompok masyarakat, yaitu Baduy Luar, yang tinggal diluar daerah Baduy Dalam,
sedangkan Baduy Dalam yang menetap di Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik. Dalam
pandangannya mereka yakin berasal dari satu keturunan, yang memiliki satu
keyakinan, tingkah laku, cita-cita, termasuk busana yang dikenakannya pun
adalah sama. Kalaupun ada perbedaan dalam berbusana, perbedaan itu hanya
terletak pada bahan dasar, model dan warnanya saja.
Untuk
Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang
sangsang, serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih karena
cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju
sangsang hanya dilubangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja.
Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong
baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih.
Pembuatannya
hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya
pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.Untuk bagian bawahnya
menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada
bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan
selembar kain. Untuk kelengkapan pada bagian kepala suku baduy menggunakan ikat
kepala berwarna putih. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka
yang panjang, kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk. Masyarakat Baduy
yakin dengan pakaian yang serba putih polos itu dapat mengandung makna suci
bersih.
Bagi
suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam.
Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya
terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai.
Sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak
diharuskan dari benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping
memamg ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Terlihat
dari warna, model ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan
mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar.
Busana
bagi kalangan pria Baduy adalah amat penting. Bagi masyarakat Baduy Dalam
maupun Luar biasanya jika hendak bepergian selalu membawa senjata berupa golok
yang diselipkan di balik pinggangnya serta dilengkapi dengan membawa tas kain
atau tas koja yang dicangklek (disandang) di pundaknya. Sedangkan, untuk busana
yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun Baduy Luar tidak terlalu
menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali
baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru
kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan
untuk pakaian sehari-hari di rumah.
Bagi
wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas,
sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup. Untuk pakaian bepergian,
biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman,
karembong, kain, ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam
adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri.
Untuk
memenuhi kebutuhan pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri yang
dikerjakan oleh kaum wanita. Dimulai dari menanam biji kapas, kemudian dipanen,
dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna
pakaian untuk keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan
putih. Kain sarung atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam
dengan garis-garis putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang
dipadukan dengan warna merah. Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual
tetapi dipakai sendiri.
Bertenun
biasanya dilakukan oleh wanita pada saat setelah panen. Jenis busana yang
dikerjakan antara lain, baju, kain sarung, kain wanita, selendang dan ikat
kepala. Selain itu, ada kerajinan yang dilakukan oleh kalangan pria di
antaranya adalah membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon
teureup atau pun benang yang dicelup.
Saya
sangat kagum sekali terhadap Kebudayaan Suku Baduy karena bagaimana patuhnya
masyarakat Baduy terhadap segala peraturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un
mereka. Kepatuhan dan ketaatan itu dijalani dengan “enjoy” tanpa penolakkan
apapun . Mereka amat rukun, damai, dan sangat sejahtera untuk ukuran kecukupan
kebutuhan hidup sehari-hari.
Perkampungan
Baduy dihuni oleh komunitas yang selain kental dengan ketentuan adat, mereka
juga murah senyum .Secara jujur, setiap kita enggan berpaling dari pandangan
kepada sosok Orang Baduy, terutama yang tinggal di Baduy Dalam. Ternyata wajah
dan tubuh Orang Baduy sangat bersih tanpa ada yang namannya jerawat
menempel di wajahnya, amat mulus walaupun mereka mandi tidak diperbolehkan
menggunakan sabun, shampoo serta sikat gigi.Tapi sayang, kita sebagai
masyarakat luar Baduy, yang bukan dari suku Baduy Dalam maupun Baduy Luar tidak
diperbolehkan untuk meminang gadis Baduy.
Dari
model, potongan dan cara berbusananya saja, secara sepintas kita akan tahu
bahwa mereka adalah suku Baduy. Pakaian
bagi suku Baduy bukanlah sekedar untuk melindungi tubuh saja, melainkan sebagai
identitas budaya yang semuanya itu adalah warisan dari karuhun atau nenek
moyang yang untuk dijaga. Untuk itu kita harus lebih banyak mengampil contoh
kehidupan positif dari masyarakat Baduy yang tidak mengeyam pendidikan formal.
terimakasih infonya, izin share ya
BalasHapusThx ya aku jadi bisa nger jain pr ku hehehe ;)
BalasHapus