Disini saya akan menulis kembali sejarah
tentang peninggalan zaman Belanda yang ada di sekitar Kota Rangkasbitung,
dimana saya sebagai penulis ikut langsung meneliti dan menjelajah bekas-bekas
Peninggalan Pada Masa Belanda yang peninggalannya itu tentu saja ada sisi
positifnya untuk kehidupan kita sebagai Bangsa.
Arti Sejarah bagi saya adalah guru bagi
kehidupan kita bersama bahkan menjadi perikehidupan bersama bangsa-bangsa dan
masyarakat Internasional. Peristiwa-peristiwa sejarah sangat mempunyai pengaruh
besar dan menentukan, juga sering menjadi fokus perhatian masyarakat, khususnya
dari para pelaku dan pemerhati sejarah baik yang menyangkut dimensi
obyektifitas maupun dimensi subyektifitasnya. Oleh karena itu, betapa
pentingnya kita mempelajari dan memahami sejarah secara obyektif dan
komperehensif terutama peristiwa sejarah yang mempunyai pengaruh terhadap
perkembangan bagi kehidupan kita sebagai bangsa.
Kota Rangkasbitung adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Indonesia.
Rangkasbitung juga merupakan ibu kota dari Kabupaten Lebak. Kabupaten Lebak juga merupakan salah satu kabupaten
penghasil produk pertanian, perkebunan juga perikanan.
Beralihnya
kekuasaan dari tangan Inggris kepada Belanda pada Tanggal 19 Agustus 1816 di
Batavia, menyebabkan terjadinya pergantian Bupati di Banten. Pada masa
Pemerintahan Bupati Lebak yang ke-2 yaitu R.T.A. Karta Nata Negara ditandai dengan terjadinya
peristiwa-peristiwa penting, seperti Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa (cultuurstelsel), munculnya perlawanan
rakyat, pemindahan ibu kota Kabupaten, reorganisasi wilayah, dan kasus Max Havelaar.
Disini yang pertama kali saya akan tulis
mengenai bekas-bekas peninggalan Pada Masa Belanda adalah Kereta Api, dimana
pada Masa itu Pemerintah Kolonial membangun jalur rel kereta api sebagai sarana
transportasi dan mempermudah jalinan perhubungan. Pekerjaan pembuatan rel kereta api pertama pada Zaman Kolonial di
Indonesia dimulai pada tahun 1863 dan 1864 berupa sebuah jalur kereta api dari
Batavia ke Bogor. Pada Tahun 1873 Pemerintahan Hindia Belanda membangun jalur
kereta api dari Semarang ke Solo dan Yogyakarta dan menghubungkan ke Surabaya,
pasuruan, dan Malang pada tahun 1879. Dan pada Tahun 1896-1900 dibangun jalur
rel kereta api dari Tanah Abang sampai ke Anyer Kidul dengan melewati Rangkasbitung,
Serang, dan Cilegon.
Dan Stasiun Kereta Api di Rangkasbitung pertama kali dibuka
pengoperasiannya pada tanggal 1 Juli 1900. Di Stasiun ini juga terdapat Dipo Lokomotif yang
menyimpan gerbong Kereta Api Langsam, Rangkas Jaya, serta Banten
Ekspres dan lokomotif jenis BB304 dan CC201 yang
didatangkan dari Dipo lokomotif Jatinegara dan Dipo lokomotif Tanah Abang.
Dulu terdapat Jalur kereta api menuju Labuan melewati Pandeglang. Jalur
ini juga mempunyai cabang di Saketi menuju Bayah.
Pada
masa jayanya, stasiun ini merupakan urat nadi perekonomian masyarakat Banten,
Rangkasbitung yang ketika itu merupakan kota Industri pertanian sangat
bergantung pada kelancaran arus perputaran transportasi untuk membawa hasil
perkebunan dan pertanian ke Betawi, dan itu bisa diatasi dengan keberadaan
stasiun di Rangkasbitung. Sisa-sisa kegiatan pergerakan ekonomi itu sampai kini
masih dapat kita jumpai, seperti banyaknya sayur mayur yang diangkut KA,
termasuk hewan ternak untuk dijual di Jakarta.
Pada
Masa Jepang, dibangun jalur KA Saketi-Bayah, yang dikenal dengan kerja paksa
Rhomusa, karena Jepang saat itu sangat membutuhkan batubara sebagai sumber
energi, dan ujung perjalanan KA Saketi-Bayah itu adalah Stasiun Rangkasbitung,
sebelum akhirnya sampai di Jakarta, sayang jalur yang sangat bersejarah itu
kini sudah tidak berfungsi lagi.
Penelitian
pertama yang saya lakukan adalah dari Kampus STKIP Setia Budhi Rangkas Bitung,
saya pergi menuju sebuah Gereja yang ada di Rangkasbitung, tapi sebelum sampai
disana saya melewati Pasar Rangkasbitung, dimana dahulunya pasar ini adalah sebuah terminal mobil, dan pada jam-jam segitu, masih banyak
pedagang sayuran yang berdagang di emperan kaki lima sehingga banyak mobil dan
motor yang mengalami kemacetan disana, tetapi hanya sebentar tidak lama, di
jalan juga kami melewati Vihara yang ada di Jl. Leuwiranji yang posisinya persis
bersebrangan dengan Pasar Rangkasbitung. Pedagang Sayuran ini juga saya lihat
di sepanjang jalan dari arah Rel Kereta Api Rangkasbitung sampai ke depan
BARATA, pasar ini beroperasi setiap hari di mulai dari Pukul 03.00 WIB sampai
dengan Pukul 07.30 WIB.
Kemudian
penelitian dilanjutkan kembali yaitu menuju sebuah Gereja yang ada disekitar
Kota Rangkasbitung, disana ternyata bukan hanya ada satu Gereja saja tetapi
melainkan ada Dua Gereja yang terdapat disana,yaitu Gereja Kristen Pasundan
(GKP) Jemaat Rangkasbitung yang ada di Jln. Sunan Kalijaga No.5 Rangkasbitung,
dan Gereja Bethel Indonesia yang ada di Jln. Sunan KaliJaga No.20 Rangkasbitung.
Penelitian
selanjutnya yaitu ke Rumah Sakit Misi yang ada di Jln. Multatuli, tetapi di
jalan saya melewati Jalan Utama Multatuli (Jalan Protokol) dan memfoto salah
satu rumah warga yang bentuknya seperti rumah pada masa Zaman Belanda (Rumah
Zaman Dulu), lalu sampai pula di Rumah Sakit Misi dimana Rumah Sakit ini
didirikan oleh pihak swasta yang berada di Kota Rangkasbitung.dan diperjalanan
saya melewati SMPN 1 Rangkasbitung, kemudian perjalanan pun dilanjutkan kembali
menuju Gedung Juang 45 Pamitran yang ada di Jln. Multatuli No.25 Rangkasbitung
dan selanjutnya menuju SMPN 4 yang ada di Jln. MA SALMUN No.6 Rangkasbitung,
dan dilanjutkan menuju LP (Lembaga Pemasyarakatan) Rutan Rangkasbitung, dimana
Gedung ini didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda Pada Tahun 1918 sebelum
Tahun 1917 di Indonesia yang diambil oleh Pemerintah Belanda dari Induknya.
Dan perjalanan
kembali menuju Rumah Multatuli yang lokasinya berada tepat di dalam Rumah Sakit
Umum Adjidarmo Rangkas Bitung yang ada di Jl. Iko Jatmiko No.1, dimana rumah
ini dahulunya merupakan tempat tinggal Eduard Douwes Dekker seorang Assisten
Residen Asli Belanda yang menulis semua perasaan temuannya di Lebak dengan
membuat buku pengenal Max Havelaar pada
tahun 1839 setahun setelah di Batavia pada tanggal 21 Januari 1859, Eduard
Douwes Dekker menginjakkan kakinya diLebak Banten Sebagai Assisten Residen.
Setelah itu
Perjalanan pun dilanjutkan menuju Gedung DPRD Kabupaten Lebak, diperjalanan
kami melewati Alun-alun Multatuli Rangkasbitung dan Mesjid Agung Rangkasbitung,
dan akhirnya sampai pula di depan Gedung DPRD Kabupatern Lebak, yang mana Nama
pertama gedung seluas 165 Meter Persegi ini adalah Contrakten Administratie yang dahulunya berfungsi sebagai Pusat
Urusan Administrasi Penyelesaian Kontrak-kontrak Perkebunan di wilayah
Administratif Banten Selatan didirikan sekitar tahun 1932. Dan terus berjalan
menuju Pendopo tempat Bpk Bupati Melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugas
kedaerahannya.
Melanjutkan
lagi perjalanan ke Taman Makam Pahlawan ”SIRNA RANA” Rangkasbitung, terus
dilanjutkan ke Rumah Ibu Kania, beliau merupakan Salah Satu Kerabat dari Bupati
Lebak yang ke-8 yaitu Raden Tumenggung Hardi Winangoen (periode 1938-1944),
makam-makam keluarganya ada di Cikario dimana rumahnya ini adalah rumah pribadi
dan rumah hak milik, bangunan ini diperbaiki sekitar tahun 1914 dan di isi
penuh pada tahun 1942-an. Ada satu kelebihan yang terdapat pada rumah Ibu Kania
ini, yaitu pintu rumah bagian depan/ pintu masuk, pada masa Belanda itu tidak
dapat tembus peluru dimana pada saat itu rakyat pribumi sedang dijajah oleh
bangsa Belanda sehingga menimbulkan perang antara pihak pribumi dengan bangsa
Belanda. Dan Max Havelaar sangat tidak ada hubungannya dengan Keluarga Besar Ibu
Kania, yang jelas-jelas beliau sangat tidak suka dan sangat tidak senang dengan
kedatangan Belanda di Rangkasbitung ini.
Kembali
melanjutkan perjalanan ke Menara Air dimana dahulunya Menara Air ini berfungsi
sebagai Menara Pengatur bagi Suplai Air Bersih untuk Kota Rangkasbitung. Dan
Melanjutkan kembali perjalanan ke Stasiun Kereta Api Rangkasbitung dimana
dijalannya saya melewati beberapa gedung-gedung, sekolah-sekolah, Kodim
Rangkasbitung, DETASEMEN POLISI MILITER, PLN Rayon Rangkasbitung, PLN area
Banten Selatan, dan melewati tempat tinggal bekas pegawai pabrik Penghasil
Minyak terbesar di Asia Tenggara (dahulunya) dan tempatnya persis di Belakang
Pusat Perbelanjaan BARATA Rabinza Mall.
Foto-foto
bersama teman-teman yang lain di Pinggir Rel Stasiun Kereta Api dan penelitian
pun akhirnya selesai dan kita semua pun bubar
lalu melanjutkan kembali perjalanan menuju Kampus STKIP Setia Budhi
Rangkasbitung secara terpisah, ada yang pulang ke Kampus menggunakan motor, ada
yang jalan kaki dan ada pula yang naik mobil angkot. Dan akhirnya tiba di Kampus
STKIP Setia Budhi Rangkasbitung, istirahat sebentar di Saung, yang ada di dalam
Kampus lalu kemudian beranjak kembali ke Mushola untuk melaksanakan Ibadah
Sholat Dzuhur.
masa lalu ... mantap...
BalasHapushttp://catatanbiruputih.blogspot.com/
jejakseribupena.com
salam satu almamater... saya dari prodi b. inggris alumnus 2015.. sangat bermanfaat artikelnya...
BalasHapusmakasih artikel ini membantu tugas saya :v
BalasHapus